Akhir tahun 2010 lalu, terjadi demonstrasi
besar-besaran di Timur Tengah. Presiden Zine El Abidine Ben Ali tumbang setelah
22 tahun berkuasa di Tunisia. Husni Mubarak harus merelakan kekuasaan yang dia
duduki selama 3 dekade di Mesir. Muammar Khadafi, penguasa Libia selama 3
dekade tertangkap oleh pasukan pemberontak. Dan hingga saat ini Presiden
Suriah, Bashar Al-Ashad menolak mundur dari jabatannya dan melawan
pemberontakan dengan tindakan represif. PBB menafsirkan sekitar 60.000 korban
jiwa telah jatuh sejak pemberontakan dimulai.
Pemimpin negara yang telah berkuasa puluhan tahun
berjatuhan hanya dalam waktu singkat akibat protes masyarakat yang terus
meluas. Fenomena ini sering disebut Arab Spring ( terjemahan : Musim Semi Arab
). Salah satu pemicu terjadinya Arab Spring adalah penggunaan media digital
yang begitu luas pada masa itu. Seorang Demonstran Mesir mengatakan, “ Kita
menggunakan Facebook untuk menjadwal demonstrasi, Twitter untuk mengatur, dan
YouTube untuk memberitahu dunia.”
Arab Spring menjadi momok bagi beberapa negara,
terutama negara dengan kepemimpinan monarki. Pemblokiran akses dilakukan
disana-sini, sensor konten, hingga penangkapan para pengguna internet dilakukan
para penguasa. Semua itu dilakukan dengan tujuan menekan gelombang protes yang
terus meluas. China adalah negara yang paranoid dengan efek media digital.
China mengetatkan sensor internet dan menahan para aktivis pro-demokrasi.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah mengapa media
digital menjadi momok? Kontrol terhadap media digital terjadi paling luas dibandingkan
media massa lainnya terutama dalam sistem pemerintahan yang otoriter. Media
digital tak ubahnya dengan media lain yang menyampaikan gagasan kepada khalayak
luas. Tapi, yang membedakan adalah kaburnya batasan antara siapa komunikator
dan siapa khalayaknya. Jika selama ini kita hanya dijejali informasi oleh media
tanpa bisa memberikan umpan balik, dalam media digital anda bisa menjadi
seorang komunikator sekaligus. Saat anda meretweet,
share, posting dan lain sebagainya
anda sudah menjadi seorang komunikator. Saat orang bebas bersuara-menyampaikan
gagasan, saat itulah ide kebebasan dan demokrasi menjangkit. Hal itulah yang
membuat para pemimpin negara otoritarian kalang kabut.
Indonesia tercatat sebagai negara dengan pengguna
internet yang besar. Tercatat pada akhir tahun 2011, ada sekitar 55 juta
pengguna internet dari 245 juta penduduk Indonesia. Apakah berbahaya? Tentu
pertanyaan ini tidak bisa dijawab dengan hanya melihat pada apa yang terjadi di
Timur Tengah. Di Indonesia sendiri banyak peristiwa yang tidak mendapat
perhatian media mainstream namun booming di jejaring sosial. Misalnya,
Briptu Norman Kamaru yang mendadak artis atau Keong Racun dari Sinta-Jojo.
Bahkan yang bernuansa politik, seperti gerakan SaveKPK.
Bahaya
Laten Media Digital
Media digital telah membawa sebuah perubahan bagi
media massa dunia. Dominasi media mainstream tidak lagi absolut dengan
kehadiran media digital atau biasanya orang melabel dengan istilah
demokratisasi media. Seorang pelajar seperti Malala Yousafzai menjadi ancaman
bagi Taliban hanya dengan memposting kekejaman Taliban terhadap wanita dan
anak-anak di Pakistan. Media digital tidak dipungkiri telah membawa
gagasan-gagasan kebebasan bersuara.
Namun, di sisi lain perlu disadari bahwa kurangnya
kemampuan kontrol terhadap media digital mampu menjadi pisau bermata dua. Para
pengguna internet bukanlah malaikat yang menyampaikan segala sesuatu yang baik.
Bahaya pornografi hingga provokasi bisa sampai ke khalayak luas melalui media
digital. Informasi yang tidak mungkin disampaikan melalui media mainstream yang
memiliki kontrol yang ketat. Anda mungkin masih ingat dengan Film “Innocence of
Moslem” yang sempat menghebohkan dunia pada Tahun 2012 lalu. Film ini berasal
dari Amerika dan bertemakan Anti-Muslim. Film ini memicu protes besar-besaran
di negara dengan mayoritas penduduk muslim, salah satunya Indonesia. Menkominfo
Indonesia sampai-sampai kewalahan menyensor postingan video yang berisi
potongan film tersebut.
Sensor untuk jangka pendek mungkin bisa meredam
konflik, namun bukan jalan keluar akan terjangan informasi di internet.
Kesadaran dan sikap kritis para pengguna internet akan informasi yang ada di
dunia maya yang harus dibentuk. Jika tidak, yang terjadi mungkin bukan isu
kudeta yang ditakutkan SBY, tetapi konflik kepentingan akibat provokasi di
media digital. Bukan tidak mungkin ada yang mengendarai konflik tersebut untuk
kepentingannya. Tetapi pada akhirnya yang dirugikan adalah masyarakat sendiri
yang kebanyakan tidak sadar sedang ditunggangi oleh kepentingan pihak-pihak
tertentu.
Tulisan ini berhasil finalis lomba esai Journalist Days 2012.