Rabu, 27 November 2013

Arab Spring Paranoia

Akhir tahun 2010 lalu, terjadi demonstrasi besar-besaran di Timur Tengah. Presiden Zine El Abidine Ben Ali tumbang setelah 22 tahun berkuasa di Tunisia. Husni Mubarak harus merelakan kekuasaan yang dia duduki selama 3 dekade di Mesir. Muammar Khadafi, penguasa Libia selama 3 dekade tertangkap oleh pasukan pemberontak. Dan hingga saat ini Presiden Suriah, Bashar Al-Ashad menolak mundur dari jabatannya dan melawan pemberontakan dengan tindakan represif. PBB menafsirkan sekitar 60.000 korban jiwa telah jatuh sejak pemberontakan dimulai.

Pemimpin negara yang telah berkuasa puluhan tahun berjatuhan hanya dalam waktu singkat akibat protes masyarakat yang terus meluas. Fenomena ini sering disebut Arab Spring ( terjemahan : Musim Semi Arab ). Salah satu pemicu terjadinya Arab Spring adalah penggunaan media digital yang begitu luas pada masa itu. Seorang Demonstran Mesir mengatakan, “ Kita menggunakan Facebook untuk menjadwal demonstrasi, Twitter untuk mengatur, dan YouTube untuk memberitahu dunia.”

Arab Spring menjadi momok bagi beberapa negara, terutama negara dengan kepemimpinan monarki. Pemblokiran akses dilakukan disana-sini, sensor konten, hingga penangkapan para pengguna internet dilakukan para penguasa. Semua itu dilakukan dengan tujuan menekan gelombang protes yang terus meluas. China adalah negara yang paranoid dengan efek media digital. China mengetatkan sensor internet dan menahan para aktivis pro-demokrasi.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah mengapa media digital menjadi momok? Kontrol terhadap media digital terjadi paling luas dibandingkan media massa lainnya terutama dalam sistem pemerintahan yang otoriter. Media digital tak ubahnya dengan media lain yang menyampaikan gagasan kepada khalayak luas. Tapi, yang membedakan adalah kaburnya batasan antara siapa komunikator dan siapa khalayaknya. Jika selama ini kita hanya dijejali informasi oleh media tanpa bisa memberikan umpan balik, dalam media digital anda bisa menjadi seorang komunikator sekaligus. Saat anda meretweet, share, posting dan lain sebagainya anda sudah menjadi seorang komunikator. Saat orang bebas bersuara-menyampaikan gagasan, saat itulah ide kebebasan dan demokrasi menjangkit. Hal itulah yang membuat para pemimpin negara otoritarian kalang kabut.

Indonesia tercatat sebagai negara dengan pengguna internet yang besar. Tercatat pada akhir tahun 2011, ada sekitar 55 juta pengguna internet dari 245 juta penduduk Indonesia. Apakah berbahaya? Tentu pertanyaan ini tidak bisa dijawab dengan hanya melihat pada apa yang terjadi di Timur Tengah. Di Indonesia sendiri banyak peristiwa yang tidak mendapat perhatian media mainstream namun booming di jejaring sosial. Misalnya, Briptu Norman Kamaru yang mendadak artis atau Keong Racun dari Sinta-Jojo. Bahkan yang bernuansa politik, seperti gerakan SaveKPK. 

Bahaya Laten Media Digital
Media digital telah membawa sebuah perubahan bagi media massa dunia. Dominasi media mainstream tidak lagi absolut dengan kehadiran media digital atau biasanya orang melabel dengan istilah demokratisasi media. Seorang pelajar seperti Malala Yousafzai menjadi ancaman bagi Taliban hanya dengan memposting kekejaman Taliban terhadap wanita dan anak-anak di Pakistan. Media digital tidak dipungkiri telah membawa gagasan-gagasan kebebasan bersuara.

Namun, di sisi lain perlu disadari bahwa kurangnya kemampuan kontrol terhadap media digital mampu menjadi pisau bermata dua. Para pengguna internet bukanlah malaikat yang menyampaikan segala sesuatu yang baik. Bahaya pornografi hingga provokasi bisa sampai ke khalayak luas melalui media digital. Informasi yang tidak mungkin disampaikan melalui media mainstream yang memiliki kontrol yang ketat. Anda mungkin masih ingat dengan Film “Innocence of Moslem” yang sempat menghebohkan dunia pada Tahun 2012 lalu. Film ini berasal dari Amerika dan bertemakan Anti-Muslim. Film ini memicu protes besar-besaran di negara dengan mayoritas penduduk muslim, salah satunya Indonesia. Menkominfo Indonesia sampai-sampai kewalahan menyensor postingan video yang berisi potongan film tersebut.

Sensor untuk jangka pendek mungkin bisa meredam konflik, namun bukan jalan keluar akan terjangan informasi di internet. Kesadaran dan sikap kritis para pengguna internet akan informasi yang ada di dunia maya yang harus dibentuk. Jika tidak, yang terjadi mungkin bukan isu kudeta yang ditakutkan SBY, tetapi konflik kepentingan akibat provokasi di media digital. Bukan tidak mungkin ada yang mengendarai konflik tersebut untuk kepentingannya. Tetapi pada akhirnya yang dirugikan adalah masyarakat sendiri yang kebanyakan tidak sadar sedang ditunggangi oleh kepentingan pihak-pihak tertentu.

Tulisan ini berhasil finalis lomba esai Journalist Days 2012.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan berkomentar mengenai artikel. :)