Jumat, 29 November 2013

Pulihkan Indonesia!

Hingar bingar pertumbuhan dan stabilitas perekonomian Indonesia terus bergaung. Macan asia kembali menancapkan cakarnya sebagai salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi terbaik. Indonesia bahkan meraih predikat pertumbuhan ekonomi terbaik kedua di antara negara-negara anggota G-20. Sayangnya, seluruh euforia ini seolah hanya menutupi borok Indonesia yang dibiarkan menganga sejak rezim Orde Baru (Orba).  Borok ini adalah korupsi yang mengerogoti sendi-sendi bangsa dan negara.

Reformasi yang sejatinya bertujuan mengembalikan fungsi normatif negara nyatanya gagal. Tindak pidana korupsi dewasa ini mulai menjalar ke generasi muda yang awalnya adalah gantungan harapan reformasi. Bagai keledai yang jatuh ke lubang yang sama, pemuda yang dulu meneriakan semangat reformasi justru melakukan kesalahan yang sama dengan pendahulunya yaitu korupsi.

Korupsi seolah menjadi budaya yang bahkan telah menjalari generasi muda. Padahal jika kita menilik kembali sejarah, pemuda merupakan aktor penting dalam reformasi. Lebih jauh ke belakang, pemuda Indonesia terutama kalangan intelektual merupakan tokoh pejuang kemerdekaan. Sejarah mencatat pada 28 Oktober 1928 pemuda-pemudi Indonesia meletakkan tonggak pertama sebagai satu bangsa, yaitu Bangsa Indonesia.

Menjelang proklamasi kemerdekaan, pemuda tetap memegang peran penting. Saat itu para pejuang kemerdekaan terbagi atas dua kalangan, yakni kalangan tua dan kalangan muda. Kalangan tua saat itu lebih memilih menunggu Jepang yang sudah menjanjikan kemerdekaan bagi Indonesia. Lain halnya dengan kaum muda yang mendorong agar segera dilakukan proklamasi. Hal inilah yang memicu terjadinya penculikan dua tokok proklamator ke Rengasdengklok. Belum lagi peran besar mahasiswa melengserkan rezim Orde Baru Soeharto yang kemudian menghembuskan angin reformasi.

Jelaslah apa yang dikatakan Presiden pertama RI, Soekarno bahwa seribu orang tua hanya dapat bermimpi, satu orang pemuda dapat mengubah dunia. Lalu bagaimana cara mahasiswa saat ini berkontribusi membangun negeri?

Paling tidak ada dua cara mahasiswa memberikan kontribusi “menyembuhkan” Indonesia dalam membangun tanah air. Pertama, mahasiswa berperan sebagai agen perubahan (agent of change). Mahasiswa sebagai generasi penerus sudah barang tentu akan menjadi sandaran bangsa kedepannya. Idealisme mahasiswa harus dijaga agar tidak terkontaminasi oleh “virus” korupsi sehingga akan menjadi generasi baru yang bersih.
Kedua, mahasiswa harus secara proaktif menjadi watchdog pemerintah. Peribahasa klasik menyatakan kekuasaan cenderung korupsi (power tend to corrupt) maka sama halnya dengan pemerintah Indonesia. Bangsa Indonesia pernah merasakan bagaimana rezim Orba mengangkangi konstitusi dan  mengekang kebebasan rakyatnya. Hasilnya adalah pemerintahan korup pasca-Orba.


Sikap pasif harus dihindari oleh para mahasiswa jika kita tidak ingin menulis sejarah yang sama bagi generasi penerus. Pengawasan harus dilakukan tidak hanya oleh wakil rakyat, tetapi dari seluruh elemen pembentuk masyarakat terutama mahasiswa. Mahasiswa sebagai kalangan intelektual berpotensi menjadi opinion leader bagi masyarakat di sekitarnya. Hal ini menjadikan posisi mahasiswa strategis sebagai pengawas kekuasaan. Indonesia bersih, niscaya Indonesia makmur. 

Kamis, 28 November 2013

Citra Perempuan dalam Kacamata Media

Pernahkah Anda membayangkan bagaimana sosok perempuan ideal? Besar kemungkinan Anda akan memikirkan sosok perempuan “Kutilang” (kurus, tinggi, dan langsing) bak gitar spanyol. Sosok ini dipercantik dengan kulit putih dan rambut hitam mengkilat.

Dari mana Anda mendapatkan gambaran perempuan cantik seperti itu? Apakah itu orang yang Anda kenal? Atau Anda pernah melihatnya di jalan? Atau di televisi? Pikirkan sekali lagi, apakah benar perempuan dapat dikatakan cantik hanya jika dia berpostur layaknya artis K-Pop di televisi?

Faktanya, setiap hari kita akan digempur informasi dari media di sekitar kita. Dari media tersebut kita membentuk citra bagaimana hal yang lazim dan bagaimana yang tidak. Percaya atau tidak, sosok perempuan cantik yang “kutilang” tadi adalah hasil pembentukkan citra oleh media yang Anda baca, tonton, dan dengar.

Thamrin Amal Tomagola seorang sosiolog asal Indonesia pernah meneliti tentang citra perempuan di dalam iklan di 4 majalah perempuan terkemuka di Indonesia. Keempat majalah tersebut adalah Femina, Kartini, Sarinah dan Pertiwi terbitan tahun 1986 – 1990 (Tomagola, 1998, 330-347) Hasil temuan Tomagola atas 300-an iklan itu menghasilkan rumusan 5 citra tentang perempuan dalam iklan, yaitu: citra pigura (penampilan memikat), citra pilar (sifat keibuan), citra peraduan (perempuan adalah objek bagi laki-laki), citra pinggan (perempuan adalah sosok di dapur) dan citra pergaulan.

Masalahnya, media seringkali mempersepsikan perempuan citra secara bias. Seolah-olah perempuan tak lebih dari komoditas bagi keagungan para pria. Tidak percaya? Masih ingat iklan parfum laki-laki yang menampilkan  seorang perempuan yang menggunting roknya? Iklan ini akhirnya diboikot dan tidak ditayangkan lagi. Tidak sampai disitu, sinetron dalam televisi seringkali menggambarkan perempuan sebagai sosok yang lemah, cengeng dan selalu tertindas. Penggambaran yang sempit lambat laun diterima sebagai hal yang wajar. Jika sampai citra perempuan seperti inilah yang lazim maka angan-angan keseteraan hanya tinggal wacana.

Mahasiswa Berwirausaha, Indonesia Maju

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat kenaikan jumlah pengangguran terbuka di Indonesia dari sebelumnya 7,24 juta orang pada Agustus 2012 menjadi 7,39 juta orang pada Agustus 2013. Lebih dari 11% pengangguran terbuka adalah lulusan SMK dan lebih dari 10% adalah lulusan sarjana dan diploma. Data ini menunjukkan penyerapan tenaga kerja lebih rendah dibandingkan jumlah para pencari pekerjaan. Mahasiswa yang nantinya akan menjadi tenaga kerja terdidik harus melihat realitas untuk menentukan apakah nanti dia mau bersaing dengan 7,39 juta orang lainnya atau membuka lapangan kerja baru.
Di sisi lain, BPS sebelumnya pernah mencatat jumlah wirausaha di Indonesia masih berada di bawah angka ideal yaitu 2% dari jumlah penduduk. Angka ini juga masih jauh di bawah negara tetangga seperti Malaysia (4%), Thailand (4,1%), dan Singapura (7,2%). Padahal, wirausaha terbukti memberikan kontribusi besar terhadap pertumbuhan perekonomian Indonesia.

Wennekers dan Thurik (1999) menemukan bahwa peningkatan jumlah wirausaha mengarah pada peningkatan pertumbuhan ekonomi nasional. Sekretaris Kabinet Republik Indonesia (Setkab RI) mengemukakan bahwa 50% pertumbuhan perekonomian Indonesia disumbangkan oleh Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) dan 90% wirausaha di tanah air merupakan UMKM.

Mahasiswa sebagai tenaga kerja terdidik sudah barang tentu dilirik sebagai tambahan wirausaha di Indonesia. Sayangnya, minat wirausaha di kalangan mahasiswa masih tergolong rendah. Pola pikir (mindset) mencari pekerjaan (job seeker) masih belum tergantikan dengan pola pikir untuk menciptakan lapangan pekerjaan baru (job creator). Hasilnya, setiap tahun tingkat pengangguran terus meningkat karena jumlah lulusan yang melampaui kemampuan dunia usaha menyerap tenaga kerja.

Beragam alasan mengapa lulusan mahasiswa enggan berwirausaha. Mulai dari minimnya modal, keterbatasan keterampilan, hingga kesulitan pengurusan izin. Padahal, jika 10% lulusan sarjana dan diploma yang menganggur tadi mulai berwirausaha maka akan menekan angka pengangguran yang signifikan. Menurut Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, UMKM menyerap lebih dari 90% tenaga kerja usia produktif.

Belum lagi, keuntungan lain yang didapatkan dengan berwirausaha. Salah satunya pemberdayaan masyarakat lokal serta pengembangan kearifan lokal. Wirausaha di suatu daerah akan mampu mengembangkan ekonomi setempat dan akhirnya berdampak pada masyarakat sekitar. Wirausaha juga menjadi sarana pengembangan kearifan lokal daerah. UMKM biasanya beroperasi lokal sehingga produk (barang dan jasa) merupakan representasi nilai-nilai kearifan lokal.

Mahasiswa sebagai generasi penerus sudah semestinya menjadi ujung tombak perekonomian Indonesia. Dewasa ini, pemerintah telah memberikan kemudahan dalam masalah pendanaan serta perizinan bagi wirausaha muda. Sehingga menjadi wirausaha bukan lagi mengenai kesulitan modal atau izin tetapi mengenai mau atau tidak.


Dulu para pahlawan kita memperjuangkan kemerdekaan dengan memerangi penjajah. Maka, sekarang mahasiswa dapat mengisi kemerdekaan dengan berwirausaha. Mahasiswa berwirausaha, niscaya Indonesia maju. 

Rabu, 27 November 2013

Keindahan Sawah Tanah Banten






Arab Spring Paranoia

Akhir tahun 2010 lalu, terjadi demonstrasi besar-besaran di Timur Tengah. Presiden Zine El Abidine Ben Ali tumbang setelah 22 tahun berkuasa di Tunisia. Husni Mubarak harus merelakan kekuasaan yang dia duduki selama 3 dekade di Mesir. Muammar Khadafi, penguasa Libia selama 3 dekade tertangkap oleh pasukan pemberontak. Dan hingga saat ini Presiden Suriah, Bashar Al-Ashad menolak mundur dari jabatannya dan melawan pemberontakan dengan tindakan represif. PBB menafsirkan sekitar 60.000 korban jiwa telah jatuh sejak pemberontakan dimulai.

Pemimpin negara yang telah berkuasa puluhan tahun berjatuhan hanya dalam waktu singkat akibat protes masyarakat yang terus meluas. Fenomena ini sering disebut Arab Spring ( terjemahan : Musim Semi Arab ). Salah satu pemicu terjadinya Arab Spring adalah penggunaan media digital yang begitu luas pada masa itu. Seorang Demonstran Mesir mengatakan, “ Kita menggunakan Facebook untuk menjadwal demonstrasi, Twitter untuk mengatur, dan YouTube untuk memberitahu dunia.”

Arab Spring menjadi momok bagi beberapa negara, terutama negara dengan kepemimpinan monarki. Pemblokiran akses dilakukan disana-sini, sensor konten, hingga penangkapan para pengguna internet dilakukan para penguasa. Semua itu dilakukan dengan tujuan menekan gelombang protes yang terus meluas. China adalah negara yang paranoid dengan efek media digital. China mengetatkan sensor internet dan menahan para aktivis pro-demokrasi.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah mengapa media digital menjadi momok? Kontrol terhadap media digital terjadi paling luas dibandingkan media massa lainnya terutama dalam sistem pemerintahan yang otoriter. Media digital tak ubahnya dengan media lain yang menyampaikan gagasan kepada khalayak luas. Tapi, yang membedakan adalah kaburnya batasan antara siapa komunikator dan siapa khalayaknya. Jika selama ini kita hanya dijejali informasi oleh media tanpa bisa memberikan umpan balik, dalam media digital anda bisa menjadi seorang komunikator sekaligus. Saat anda meretweet, share, posting dan lain sebagainya anda sudah menjadi seorang komunikator. Saat orang bebas bersuara-menyampaikan gagasan, saat itulah ide kebebasan dan demokrasi menjangkit. Hal itulah yang membuat para pemimpin negara otoritarian kalang kabut.

Indonesia tercatat sebagai negara dengan pengguna internet yang besar. Tercatat pada akhir tahun 2011, ada sekitar 55 juta pengguna internet dari 245 juta penduduk Indonesia. Apakah berbahaya? Tentu pertanyaan ini tidak bisa dijawab dengan hanya melihat pada apa yang terjadi di Timur Tengah. Di Indonesia sendiri banyak peristiwa yang tidak mendapat perhatian media mainstream namun booming di jejaring sosial. Misalnya, Briptu Norman Kamaru yang mendadak artis atau Keong Racun dari Sinta-Jojo. Bahkan yang bernuansa politik, seperti gerakan SaveKPK. 

Bahaya Laten Media Digital
Media digital telah membawa sebuah perubahan bagi media massa dunia. Dominasi media mainstream tidak lagi absolut dengan kehadiran media digital atau biasanya orang melabel dengan istilah demokratisasi media. Seorang pelajar seperti Malala Yousafzai menjadi ancaman bagi Taliban hanya dengan memposting kekejaman Taliban terhadap wanita dan anak-anak di Pakistan. Media digital tidak dipungkiri telah membawa gagasan-gagasan kebebasan bersuara.

Namun, di sisi lain perlu disadari bahwa kurangnya kemampuan kontrol terhadap media digital mampu menjadi pisau bermata dua. Para pengguna internet bukanlah malaikat yang menyampaikan segala sesuatu yang baik. Bahaya pornografi hingga provokasi bisa sampai ke khalayak luas melalui media digital. Informasi yang tidak mungkin disampaikan melalui media mainstream yang memiliki kontrol yang ketat. Anda mungkin masih ingat dengan Film “Innocence of Moslem” yang sempat menghebohkan dunia pada Tahun 2012 lalu. Film ini berasal dari Amerika dan bertemakan Anti-Muslim. Film ini memicu protes besar-besaran di negara dengan mayoritas penduduk muslim, salah satunya Indonesia. Menkominfo Indonesia sampai-sampai kewalahan menyensor postingan video yang berisi potongan film tersebut.

Sensor untuk jangka pendek mungkin bisa meredam konflik, namun bukan jalan keluar akan terjangan informasi di internet. Kesadaran dan sikap kritis para pengguna internet akan informasi yang ada di dunia maya yang harus dibentuk. Jika tidak, yang terjadi mungkin bukan isu kudeta yang ditakutkan SBY, tetapi konflik kepentingan akibat provokasi di media digital. Bukan tidak mungkin ada yang mengendarai konflik tersebut untuk kepentingannya. Tetapi pada akhirnya yang dirugikan adalah masyarakat sendiri yang kebanyakan tidak sadar sedang ditunggangi oleh kepentingan pihak-pihak tertentu.

Tulisan ini berhasil finalis lomba esai Journalist Days 2012.

Sabtu, 23 November 2013

Jangan Lagi Impor Kedelai

Sering kita dengar bahwa Indonesia adalah negara yang kaya akan Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah. Dari Sabang hingga Merauke tersimpan potensi alam yang tidak habis-habis. Tanah subur. Gas dan minyak melimpah. Ironisnya, kita masih harus mengimpor kedelai untuk memenuhi kebutuhan kedelai dalam negeri. Pasalnya, hasil panen petani dalam negeri tidak sebanding dengan kebutuhan. Perajin tahu dan tempe harus pasrah melihat kelangkaan kedelai yang diikuti melambungnya harga. Tahu dan tempe menjadi makanan langka di negerinya sendiri.

Sulit membayangkan perekonomian Indonesia dikatakan kuat jika untuk pangan saja kita masih harus mengimpor. Badan Pusat Statistik meramalkan produksi kedelai lokal tahun ini mencapai 847.016 ton. Padahal, kebutuhan kedelai nasional mencapai 2,2-2,5 juta ton per tahun. Artinya, lebih dari 70% kebutuhan kedelai nasional harus dipenuhi dengan impor.

Agaknya pemerintah kita tidak pernah belajar. Berkali-kali kedelai mengalami kelangkaan. Berkali-kali juga perajin tahu dan tempe mogok produksi. Namun yang diberikan pemerintah hanya retorika kosong mengenai swasembada pangan. Hanya ada kebijakan jangka pendek dengan mengimpor. Kebijakan pasca krisis yang tidak mempertimbangkan aspek jangka panjang. Akibatnya, program swasembada hanya hangat sebentar dan tenggelam tanpa benar-benar dirasakan oleh petani.

Swasembada pangan yang dicanangkan oleh pemerintah harus benar-benar direalisasikan jika Indonesia ingin menjadi negara dengan perekonomian yang kuat. Pemberdayaan petani harus menjadi prioritas pemerintah. Petani harus dibantu agar menghasilkan kedelai secara produktif. Menurut data Litbang Kadin Indonesia pada 2013, Indonesia hanya mampu memproduksi 1,3 ton kedelai per hektar. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan produksi di Amerika Serikat (AS) yang mencapai 2,7 ton per hektar. Padahal, iklim Indonesia bisa dikatakan lebih cocok bagi tanaman kedelai dibandingkan iklim AS.

Kenaikan harga kedelai global saat ini harus dijadikan momentum untuk meningkatkan taraf hidup petani. Kenaikan harga harus berdampak pada harga jual kedelai di pasaran. Sehingga para petani tertarik untuk menanam kedelai. Selain itu, kenaikan harga ini juga tidak boleh sampai merugikan para perajin tahu dan tempe. Sehingga terjalin hubungan mutualisme antara petani kedelai dengan perajin tahu-tempe.

Ketiga, pemerintah harus menindak tegas para kartel yang bermain dalam carut marut kedelai saat ini. Para kartel ini beresiko merugikan para petani dengan permainan harga. Sehingga kenaikan harga kedelai di pasaran global hanya akan menguntungkan pihak tertentu. Sedangkan petani semakin kesulitan karena biaya produksi kian melambung.


Singkatnya, pemerintah harus berpihak pada petani bukan kapital asing. Pemberdayaan petani akan menjadikan petani produktif dan mudah-mudahan kebutuhan kedelai nasional 2014 dapat dipenuhi oleh petani lokal tanpa harus mengimpor. Sehingga, ekonomi Indonesia Berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) dapat terwujud.

Ancaman Perpecahan NKRI

Indonesia memang sudah merdeka selama 68 tahun, tetapi ibarat hinggap seperti benalu, sisa-sisa “Devide et Impera” ala Belanda masih dapat kita rasakan. Bedanya, kalau dulu yang mengadu domba kita adalah pihak kolonial, sekarang, sang pengadu domba berada di antara masyarakat Indonesia sendiri. Mereka menjelma dan menyusupi sendi-sendi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Tujuan mereka adalah melucuti legitimasi negara. Mereka menciptakan pertentangan antar masyarakat atau antar masyarakat dengan negara. Segera setelah legitimasi negara habis dilucuti, mereka memecah Indonesia, merubah Ideologi Pancasila dengan ideologi lain atau bahkan mengambil alih kekuasaan negara.

Lalu, siapakah mereka itu? Mereka bisa saja berkedok politik, agama, dan etnis. Mereka memprovokasi masyarakat untuk membakar Kantor KPU kalau calon unggulannya kalah dalam Pilkada, membom gereja agar terjadi konflik antar agama, atau mempertentangkan dua kepercayaan. Mereka bisa berwujud tokoh masyarakat yang salah arah seperti di Kerusuhan di Sampang,  yang berawal dari sebuah konflik keluarga kemudian meluas setelah dibumbui dengan aroma perbedaan aliran Sunni dan Syiah. Bisa saja berupa gerakan separatisme seperti gerakan OPM (Operasi Papua Merdeka) di Papua, RMS (Republik Maluku Selatan) di Maluku, dan GAM (Gerakan Aceh Merdeka) di aceh. Belum lagi ormas-ormas yang bertindak anarkis. Singkatnya, mereka bisa berkedok apa saja yang penting tujuannya chaos.

Hemat saya, konflik (horisontal dan vertikal) niscaya dapat kita hindari jika negara dapat menjamin 2 hak dasar, yaitu kesejahteraan masyarakat dan kebebasan memeluk keyakinan. Mengutip dari salah satu lagu Bob Marley bahwa “A hungry man is an angry man.” Ketika kebutuhan dasar tidak dapat dijamin, konflik mudah sekali pecah. Provokasi hanya ibarat bensin menyiram api. Hal ini terutama terjadi pada masyarakat Indonesia di wilayah perbatasan dimana pembangunan ekonomi berjalan lamban. Indonesia sudah menelan pil pahit akibat pemisahan Timor Leste (saat itu bernama Timor Timur) tahun 1999 silam  akibat tidak meratanya pembangunan.

Kedua, negara harus mampu menjamin warga negara Indonesia untuk memeluk keyakinan tanpa adanya diskriminasi dari pihak lain. Negara seharusnya tegas mengamalkan UUD 1945 pasal 29 ayat 2 yang menjamin setiap warga negaranya memeluk keyakinannya masing-masing. Faktanya, seringkali penindakan pelanggaran terhadap kekerasan yang berbau agama berjalan lambat dan tidak tegas. Bahkan, ormas-ormas anarkis mengatasnamakan agama dibiarkan bertumbuh subur. Maka, yang terjadi adalah berkembangnya intoleransi beragama yang merajarela. Tak pelak, perpecahan menjadi mudah tersulut.


Solusinya, negara harus menegakkan dasar negara, yaitu Pancasila dan UUD 1945 yang menjamin kebebasan memeluk keyakinan. Ormas yang memprovokasi dan menyulut perpecahan sudah semestinya ditindak tegas. Mengutip pidato Bung Karno pada tanggal 24 Spetember 1955 di Surabaya, “Negara Republik Indonesia ini bukan milik sesuatu golongan, bukan milik sesuatu agama, bukan milik sesuatu suku, bukan milik sesuatu golongan adat-istiadat, tetapi milik kita semua dari Sabang sampai Merauke!”

Jumat, 08 November 2013

Sosial Media Gue, Semau Gue?


Perkembangan media sosial saat ini sudah tidak bisa dibendung. Media sosial mempengaruhi bagaimana kita berkomunikasi, mencari informasi, dan bahkan memberikan pendapat. Dulu, sebelum internet merajarela seperti sekarang ini, orang akan mencari informasi melalui media arus utama (yang sekarang disebut juga media konvensional) seperti televisi, radio, dan surat kabar. 


Melalui media sosial orang juga memberikan pendapatnya terhadap kejadian atau peristiwa yang terjadi di sekitar mereka dan bahkan terhadap peristiwa yang terjadi di belahan dunia lain. Kita masih mengingat bagaimana dunia mengecam penembakan terhadap Malala Yousafzai oleh Taliban karena melakukan dia begitu vokal memotres Taliban.

Amien Rais mengemukakan dugaan adanya cyber troops (pasukan dunia maya) di belakang Jokowi. Hal ini diungkap olehnya setelah melihat kecenderungan sekelompok orang mem-bully tokoh yang mengkritik Jokowi di media. Dugaan ini dilanjutkan bahwa adanya seseorang yang mengordinasikan kelompok tersebut.

"Orang kritik Jokowi di media, nanti ada ratusan yang menghantam tanpa ampun yang dengan kata-kata semestinya tidak layak dan elok," kata Amien seperti dilansir oleh inilah.com.

Praktisi Teknologi Informasi Chafiz Anwar membenarkan adanya pasukan dunia maya di belakang Jokowi. "Kalau komentarnya muncul dalam waktu yang kurang lebih bersamaan dengan komentar yang senada seperti dikomando baik untuk menyerang maupun membela orang-orang yang mereka jaga, maka bisa dipastikan akun-akun itu palsu," ujar Chafiz seperti dilansir oleh inilah.com

Terlepas dari benar atau tidaknya pasukan dunia maya yang dimiliki oleh Jokowi, media sosial sering disalah gunakan. Media sosial seringkali digunakan untuk meluapkan emosi dan kemarahan tanpa tahu batasan. Orang seringkali lupa bahwa media sosial juga merupakan ruang publik yang dapat diakses oleh semua orang. Hal ini tidak terlepas dari kekuatan media sosial yang memungkinkan setiap individu untuk mengemukakan pendapatnya tanpa batasan (selama memiliki perangkat yang terhubung dengan jaringan internet). Tak jarang, hal yang disampaikan dalam media sosial bersifat fitnah untuk menjatuhkan seseorang.

Semua kembali pada etika dalam berkomunikasi. Melalui media apapun tidak sepantasnya kita menjatuhkan pihak tertentu. Kebanyakan dari kita tentu belum lupa dengan berbagai tuntutan pencemaran nama baik hanya karena tweet atau status dalam media sosial yang menyudutkan pihak tertentu. Sudah semestinya kita menjaga kesantunan dalam cara kita berkomunikasi melalui media apapun.

Senin, 04 November 2013

Restorasi Citra Polri

Beberapa waktu lalu publik dikejutkan dengan munculnya foto-foto bugil seorang wanita yang belakangan diketahui merupakan anggota Polwan Lampung. Foto-foto yang diduga diunggah oleh kekasih Polwan tersebut menjadi pembicaraan di dunia maya. Belum lama berselang, kembali muncul foto-foto tidak seronok yang melibatkan oknum polisi di Wonogiri. Belakangan diketahui pria dalam foto tersebut merupakan Kapolsek Wonogiri.

 Kedua kasus diatas merupakan telak bagi citra Polri. Seperti pepatah yang berbunyi: “Karena nila setitik, rusak susu sebelanga,” itulah yang terjadi pada kepolisian kita. Di tengah-tengah usaha membangun citra positif di mata publik, instansi penegak hukum ini justru dihadapkan pada insiden foto bugil yang melibatkan anggotanya.

William Benoit dalam bukunya yang berjudul Accounts, Excuses, and Apologies: A Theory of Image Restoration Strategies mengungkapkan strategi yang dapat digunakan untuk meminimalisir dampak pada citra akibat peristiwa yang merusak reputasi. Lebih lanjut, Benoit menjelaskan 5 cara untuk merestorasi citra dalam krisis, yaitu melalui bantahan, penghindaran tanggung jawab, pengurangan keseriusan masalah, tindakan koreksi dan mortifikasi.

Bantahan sering kita temui dalam kata-kata terduga korupsi di Indonesia. Sama halnya dengan penghindaran tanggung jawab kita temui dalam pernyataan terduga korupsi. Penghindaran tanggung jawab sering dilakukan dengan mengambinghitamkan pihak lain sehingga dirinya seolah lepas dari tanggung jawab.  Kedua strategi ini sepertinya tidak layak diterapkan pada kasus foto bugil oknum Polri. Bantahan hanya dapat dilakukan ketika kasus yang terjadi masih dalam “dunia abu-abu”. Penghindaran tanggung jawab juga tidak mampu mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap instansi Polri.

Hemat saya, tindakan yang tepat adalah tindakan koreksi dan mortifikasi. Tindakan koreksi dapat dilakukan dengan memberikan sanksi yang tegas kepada oknum yang berfoto bugil dan pengunggah foto tersebut. Pemberian sanksi ini juga tidak boleh berat sebelah karena akan membentuk persepsi polisi melindungi anggotanya yang bersalah.

Mortifikasi adalah dengan memberikan pernyataan dan permintaan maaf kepada publik. Hal ini pernah dilakukan oleh salah satu penyanyi dangdut yang terlibat video mesum yang melibatkan anggota DPR RI. Saat itu, sang penyanyi dangdut muncul ke publik dan memberikan permintaan maaf kepada publik. Terlepas dari ajang pencarian popularitas, tindakan sang penyanyi dangdut tersebut patut ditiru. Selain memberikan penyelesaian kemelut foto bugil oknum Polri, permintaan maaf dapat memberikan pesan yang jelas kepada anggota Polri lain supaya tidak mengulangi kesalahan yang sama.