Indonesia memang
sudah merdeka selama 68 tahun, tetapi ibarat hinggap seperti benalu, sisa-sisa “Devide
et Impera” ala Belanda masih dapat kita rasakan. Bedanya, kalau dulu yang
mengadu domba kita adalah pihak kolonial, sekarang, sang pengadu domba berada
di antara masyarakat Indonesia sendiri. Mereka menjelma dan menyusupi
sendi-sendi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Tujuan mereka adalah
melucuti legitimasi negara. Mereka menciptakan pertentangan antar masyarakat
atau antar masyarakat dengan negara. Segera setelah legitimasi negara habis
dilucuti, mereka memecah Indonesia, merubah Ideologi Pancasila dengan ideologi
lain atau bahkan mengambil alih kekuasaan negara.
Lalu, siapakah
mereka itu? Mereka bisa saja berkedok politik, agama, dan etnis. Mereka
memprovokasi masyarakat untuk membakar Kantor KPU kalau calon unggulannya kalah
dalam Pilkada, membom gereja agar terjadi konflik antar agama, atau
mempertentangkan dua kepercayaan. Mereka bisa berwujud tokoh masyarakat yang
salah arah seperti di Kerusuhan di Sampang, yang berawal dari sebuah konflik keluarga
kemudian meluas setelah dibumbui dengan aroma perbedaan aliran Sunni dan Syiah.
Bisa saja berupa gerakan separatisme seperti gerakan OPM (Operasi Papua
Merdeka) di Papua, RMS (Republik Maluku Selatan) di Maluku, dan GAM (Gerakan
Aceh Merdeka) di aceh. Belum lagi ormas-ormas yang bertindak anarkis. Singkatnya,
mereka bisa berkedok apa saja yang penting tujuannya chaos.
Hemat saya,
konflik (horisontal dan vertikal) niscaya dapat kita hindari jika negara dapat
menjamin 2 hak dasar, yaitu kesejahteraan masyarakat dan kebebasan memeluk
keyakinan. Mengutip dari salah satu lagu Bob Marley bahwa “A hungry man is an
angry man.” Ketika kebutuhan dasar tidak dapat dijamin, konflik mudah sekali
pecah. Provokasi hanya ibarat bensin menyiram api. Hal ini terutama terjadi
pada masyarakat Indonesia di wilayah perbatasan dimana pembangunan ekonomi
berjalan lamban. Indonesia sudah menelan pil pahit akibat pemisahan Timor Leste
(saat itu bernama Timor Timur) tahun 1999 silam
akibat tidak meratanya pembangunan.
Kedua, negara
harus mampu menjamin warga negara Indonesia untuk memeluk keyakinan tanpa
adanya diskriminasi dari pihak lain. Negara seharusnya tegas mengamalkan UUD
1945 pasal 29 ayat 2 yang menjamin setiap warga negaranya memeluk keyakinannya
masing-masing. Faktanya, seringkali penindakan pelanggaran terhadap kekerasan yang
berbau agama berjalan lambat dan tidak tegas. Bahkan, ormas-ormas anarkis
mengatasnamakan agama dibiarkan bertumbuh subur. Maka, yang terjadi adalah berkembangnya
intoleransi beragama yang merajarela. Tak pelak, perpecahan menjadi mudah
tersulut.
Solusinya,
negara harus menegakkan dasar negara, yaitu Pancasila dan UUD 1945 yang
menjamin kebebasan memeluk keyakinan. Ormas yang memprovokasi dan menyulut
perpecahan sudah semestinya ditindak tegas. Mengutip pidato Bung Karno pada
tanggal 24 Spetember 1955 di Surabaya, “Negara
Republik Indonesia ini bukan milik sesuatu golongan, bukan milik sesuatu agama,
bukan milik sesuatu suku, bukan milik sesuatu golongan adat-istiadat, tetapi
milik kita semua dari Sabang sampai Merauke!”
nice post bro! sayangnya ibarat kata, Pancasila sama UUD cuman jadi kertas penuh tinta, tanpa ada makna yang terjalani, sayang sekali :(
BalasHapusbukan cuma soal agama, tapi juga soal perbedaan suku "rasisme masih ada"
BalasHapussuka banget sama kata-kata ini “Negara Republik Indonesia ini bukan milik sesuatu golongan, bukan milik sesuatu agama, bukan milik sesuatu suku, bukan milik sesuatu golongan adat-istiadat, tetapi milik kita semua dari Sabang sampai Merauke!”.. keren
BalasHapusBetul, selama Pancasila dan UUD 1945 cuma tinta di atas kertas, jangan harap diskriminasi bisa lenyap dari bumi ibu pertiwi.
BalasHapus