Sabtu, 23 November 2013

Ancaman Perpecahan NKRI

Indonesia memang sudah merdeka selama 68 tahun, tetapi ibarat hinggap seperti benalu, sisa-sisa “Devide et Impera” ala Belanda masih dapat kita rasakan. Bedanya, kalau dulu yang mengadu domba kita adalah pihak kolonial, sekarang, sang pengadu domba berada di antara masyarakat Indonesia sendiri. Mereka menjelma dan menyusupi sendi-sendi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Tujuan mereka adalah melucuti legitimasi negara. Mereka menciptakan pertentangan antar masyarakat atau antar masyarakat dengan negara. Segera setelah legitimasi negara habis dilucuti, mereka memecah Indonesia, merubah Ideologi Pancasila dengan ideologi lain atau bahkan mengambil alih kekuasaan negara.

Lalu, siapakah mereka itu? Mereka bisa saja berkedok politik, agama, dan etnis. Mereka memprovokasi masyarakat untuk membakar Kantor KPU kalau calon unggulannya kalah dalam Pilkada, membom gereja agar terjadi konflik antar agama, atau mempertentangkan dua kepercayaan. Mereka bisa berwujud tokoh masyarakat yang salah arah seperti di Kerusuhan di Sampang,  yang berawal dari sebuah konflik keluarga kemudian meluas setelah dibumbui dengan aroma perbedaan aliran Sunni dan Syiah. Bisa saja berupa gerakan separatisme seperti gerakan OPM (Operasi Papua Merdeka) di Papua, RMS (Republik Maluku Selatan) di Maluku, dan GAM (Gerakan Aceh Merdeka) di aceh. Belum lagi ormas-ormas yang bertindak anarkis. Singkatnya, mereka bisa berkedok apa saja yang penting tujuannya chaos.

Hemat saya, konflik (horisontal dan vertikal) niscaya dapat kita hindari jika negara dapat menjamin 2 hak dasar, yaitu kesejahteraan masyarakat dan kebebasan memeluk keyakinan. Mengutip dari salah satu lagu Bob Marley bahwa “A hungry man is an angry man.” Ketika kebutuhan dasar tidak dapat dijamin, konflik mudah sekali pecah. Provokasi hanya ibarat bensin menyiram api. Hal ini terutama terjadi pada masyarakat Indonesia di wilayah perbatasan dimana pembangunan ekonomi berjalan lamban. Indonesia sudah menelan pil pahit akibat pemisahan Timor Leste (saat itu bernama Timor Timur) tahun 1999 silam  akibat tidak meratanya pembangunan.

Kedua, negara harus mampu menjamin warga negara Indonesia untuk memeluk keyakinan tanpa adanya diskriminasi dari pihak lain. Negara seharusnya tegas mengamalkan UUD 1945 pasal 29 ayat 2 yang menjamin setiap warga negaranya memeluk keyakinannya masing-masing. Faktanya, seringkali penindakan pelanggaran terhadap kekerasan yang berbau agama berjalan lambat dan tidak tegas. Bahkan, ormas-ormas anarkis mengatasnamakan agama dibiarkan bertumbuh subur. Maka, yang terjadi adalah berkembangnya intoleransi beragama yang merajarela. Tak pelak, perpecahan menjadi mudah tersulut.


Solusinya, negara harus menegakkan dasar negara, yaitu Pancasila dan UUD 1945 yang menjamin kebebasan memeluk keyakinan. Ormas yang memprovokasi dan menyulut perpecahan sudah semestinya ditindak tegas. Mengutip pidato Bung Karno pada tanggal 24 Spetember 1955 di Surabaya, “Negara Republik Indonesia ini bukan milik sesuatu golongan, bukan milik sesuatu agama, bukan milik sesuatu suku, bukan milik sesuatu golongan adat-istiadat, tetapi milik kita semua dari Sabang sampai Merauke!”

4 komentar:

  1. nice post bro! sayangnya ibarat kata, Pancasila sama UUD cuman jadi kertas penuh tinta, tanpa ada makna yang terjalani, sayang sekali :(

    BalasHapus
  2. bukan cuma soal agama, tapi juga soal perbedaan suku "rasisme masih ada"

    BalasHapus
  3. suka banget sama kata-kata ini “Negara Republik Indonesia ini bukan milik sesuatu golongan, bukan milik sesuatu agama, bukan milik sesuatu suku, bukan milik sesuatu golongan adat-istiadat, tetapi milik kita semua dari Sabang sampai Merauke!”.. keren

    BalasHapus
  4. Betul, selama Pancasila dan UUD 1945 cuma tinta di atas kertas, jangan harap diskriminasi bisa lenyap dari bumi ibu pertiwi.

    BalasHapus

Silakan berkomentar mengenai artikel. :)