Sabtu, 23 November 2013

Jangan Lagi Impor Kedelai

Sering kita dengar bahwa Indonesia adalah negara yang kaya akan Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah. Dari Sabang hingga Merauke tersimpan potensi alam yang tidak habis-habis. Tanah subur. Gas dan minyak melimpah. Ironisnya, kita masih harus mengimpor kedelai untuk memenuhi kebutuhan kedelai dalam negeri. Pasalnya, hasil panen petani dalam negeri tidak sebanding dengan kebutuhan. Perajin tahu dan tempe harus pasrah melihat kelangkaan kedelai yang diikuti melambungnya harga. Tahu dan tempe menjadi makanan langka di negerinya sendiri.

Sulit membayangkan perekonomian Indonesia dikatakan kuat jika untuk pangan saja kita masih harus mengimpor. Badan Pusat Statistik meramalkan produksi kedelai lokal tahun ini mencapai 847.016 ton. Padahal, kebutuhan kedelai nasional mencapai 2,2-2,5 juta ton per tahun. Artinya, lebih dari 70% kebutuhan kedelai nasional harus dipenuhi dengan impor.

Agaknya pemerintah kita tidak pernah belajar. Berkali-kali kedelai mengalami kelangkaan. Berkali-kali juga perajin tahu dan tempe mogok produksi. Namun yang diberikan pemerintah hanya retorika kosong mengenai swasembada pangan. Hanya ada kebijakan jangka pendek dengan mengimpor. Kebijakan pasca krisis yang tidak mempertimbangkan aspek jangka panjang. Akibatnya, program swasembada hanya hangat sebentar dan tenggelam tanpa benar-benar dirasakan oleh petani.

Swasembada pangan yang dicanangkan oleh pemerintah harus benar-benar direalisasikan jika Indonesia ingin menjadi negara dengan perekonomian yang kuat. Pemberdayaan petani harus menjadi prioritas pemerintah. Petani harus dibantu agar menghasilkan kedelai secara produktif. Menurut data Litbang Kadin Indonesia pada 2013, Indonesia hanya mampu memproduksi 1,3 ton kedelai per hektar. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan produksi di Amerika Serikat (AS) yang mencapai 2,7 ton per hektar. Padahal, iklim Indonesia bisa dikatakan lebih cocok bagi tanaman kedelai dibandingkan iklim AS.

Kenaikan harga kedelai global saat ini harus dijadikan momentum untuk meningkatkan taraf hidup petani. Kenaikan harga harus berdampak pada harga jual kedelai di pasaran. Sehingga para petani tertarik untuk menanam kedelai. Selain itu, kenaikan harga ini juga tidak boleh sampai merugikan para perajin tahu dan tempe. Sehingga terjalin hubungan mutualisme antara petani kedelai dengan perajin tahu-tempe.

Ketiga, pemerintah harus menindak tegas para kartel yang bermain dalam carut marut kedelai saat ini. Para kartel ini beresiko merugikan para petani dengan permainan harga. Sehingga kenaikan harga kedelai di pasaran global hanya akan menguntungkan pihak tertentu. Sedangkan petani semakin kesulitan karena biaya produksi kian melambung.


Singkatnya, pemerintah harus berpihak pada petani bukan kapital asing. Pemberdayaan petani akan menjadikan petani produktif dan mudah-mudahan kebutuhan kedelai nasional 2014 dapat dipenuhi oleh petani lokal tanpa harus mengimpor. Sehingga, ekonomi Indonesia Berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) dapat terwujud.

4 komentar:

  1. kita sama-sama berdoa dan berharap ya agar bangsa Indonesia dapat lepas dari ketergantungan barang-barang impor. tidak hanya kedelai saja namun barang dan jasa lain juga.

    BalasHapus
  2. Kita jangan cuma berdoa dan berharap mel, tapi kita menjadi penggerak perubahan barangkali dengan mencoba memberitakan mengenai penanaman kedelai alternatif, bagaimana cara agar kedelai cepat tumbuh dan berkualitas baik, bukan tidak mungkin pemerintah bekerja sama dengan para peneliti serta pengembang pertanian dan juga memberdayakan petani, negara kita menjadi pengekspor kedelai terbesar. Barangkali.

    BalasHapus
  3. Indonesia punya potensi, sayangnya justru karena potensi itu Indonesia malah terlena. Mungkin ini yang dimaksudkan dengan "resouce curse".

    BalasHapus

Silakan berkomentar mengenai artikel. :)