Sering kita dengar bahwa Indonesia
adalah negara yang kaya akan Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah. Dari Sabang
hingga Merauke tersimpan potensi alam yang tidak habis-habis. Tanah subur. Gas
dan minyak melimpah. Ironisnya, kita masih harus mengimpor kedelai untuk
memenuhi kebutuhan kedelai dalam negeri. Pasalnya, hasil panen petani dalam
negeri tidak sebanding dengan kebutuhan. Perajin tahu dan tempe harus pasrah
melihat kelangkaan kedelai yang diikuti melambungnya harga. Tahu dan tempe
menjadi makanan langka di negerinya sendiri.
Sulit membayangkan perekonomian
Indonesia dikatakan kuat jika untuk pangan saja kita masih harus mengimpor.
Badan Pusat Statistik meramalkan produksi
kedelai lokal tahun ini mencapai 847.016 ton. Padahal, kebutuhan kedelai
nasional mencapai 2,2-2,5 juta ton per tahun. Artinya, lebih dari 70% kebutuhan
kedelai nasional harus dipenuhi dengan impor.
Agaknya pemerintah kita tidak pernah
belajar. Berkali-kali kedelai mengalami kelangkaan. Berkali-kali juga perajin
tahu dan tempe mogok produksi. Namun yang diberikan pemerintah hanya retorika
kosong mengenai swasembada pangan. Hanya ada kebijakan jangka pendek dengan
mengimpor. Kebijakan pasca krisis yang tidak mempertimbangkan aspek jangka panjang.
Akibatnya, program swasembada hanya hangat sebentar dan tenggelam tanpa
benar-benar dirasakan oleh petani.
Swasembada pangan
yang dicanangkan oleh pemerintah harus benar-benar direalisasikan jika
Indonesia ingin menjadi negara dengan perekonomian yang kuat. Pemberdayaan
petani harus menjadi prioritas pemerintah. Petani harus dibantu agar
menghasilkan kedelai secara produktif. Menurut data Litbang Kadin Indonesia
pada 2013, Indonesia hanya mampu memproduksi 1,3 ton kedelai per hektar. Angka
ini jauh lebih rendah dibandingkan produksi di Amerika Serikat (AS) yang
mencapai 2,7 ton per hektar. Padahal, iklim Indonesia bisa dikatakan lebih
cocok bagi tanaman kedelai dibandingkan iklim AS.
Kenaikan harga
kedelai global saat ini harus dijadikan momentum untuk meningkatkan taraf hidup
petani. Kenaikan harga harus berdampak pada harga jual kedelai di pasaran.
Sehingga para petani tertarik untuk menanam kedelai. Selain itu, kenaikan harga
ini juga tidak boleh sampai merugikan para perajin tahu dan tempe. Sehingga
terjalin hubungan mutualisme antara petani kedelai dengan perajin tahu-tempe.
Ketiga, pemerintah
harus menindak tegas para kartel yang bermain dalam carut marut kedelai saat
ini. Para kartel ini beresiko merugikan para petani dengan permainan harga.
Sehingga kenaikan harga kedelai di pasaran global hanya akan menguntungkan
pihak tertentu. Sedangkan petani semakin kesulitan karena biaya produksi kian
melambung.
Singkatnya,
pemerintah harus berpihak pada petani bukan kapital asing. Pemberdayaan petani
akan menjadikan petani produktif dan mudah-mudahan kebutuhan kedelai nasional
2014 dapat dipenuhi oleh petani lokal tanpa harus mengimpor. Sehingga, ekonomi
Indonesia Berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) dapat terwujud.
kita sama-sama berdoa dan berharap ya agar bangsa Indonesia dapat lepas dari ketergantungan barang-barang impor. tidak hanya kedelai saja namun barang dan jasa lain juga.
BalasHapusKita jangan cuma berdoa dan berharap mel, tapi kita menjadi penggerak perubahan barangkali dengan mencoba memberitakan mengenai penanaman kedelai alternatif, bagaimana cara agar kedelai cepat tumbuh dan berkualitas baik, bukan tidak mungkin pemerintah bekerja sama dengan para peneliti serta pengembang pertanian dan juga memberdayakan petani, negara kita menjadi pengekspor kedelai terbesar. Barangkali.
BalasHapusIndonesia punya potensi, sayangnya justru karena potensi itu Indonesia malah terlena. Mungkin ini yang dimaksudkan dengan "resouce curse".
BalasHapussetuju tikkaaaa....
BalasHapus